#Minimalism | New Normal – Menjadi Lebih Bahagia
Hi guys, it’s been a while since I posted something, bukan karena tidak punya hal untuk dishare or terlalu sibuk – it sounds like too many reasons and denying, so don’t judge me! :D
Alright,
It took a long time to send you this. Sesuatu yang
kelihatannya sederhana sekali, tapi seiring bertambahnya usia kita sering kali
menemukan diri kita take a time untuk memikirkan sesuatu lebih deep,
somehow. Terutama pada hal-hal yang mungkin akan merubah pola hidup, cara
pandang dan mindset kita. Entah ini bagian dari “menjadi tua” atau
karena otak kita mengalami penurunan fungsi saja jadi butuh lebih banyak waktu
untuk sekedar memikirkan dan mengambil keputusan-keputusan itu, you name it!
Hahah
Dari yang sebelumnya suka impulsive buying, beli barang hanya karena lucu aja bentuknya, cute aja tampilannya, bukan karena benar-benar butuh, bahkan jadi tidak terpakai, karena belinya bukan karena fungsinya tapi karena pengen aja, laper mata aja. Seperti juga beli buku banyak-banyak sekaligus hanya kareka lagi diskon atau lagi ada pameran buku tapi selanjutnya berakhir di rak buku tanpa dibaca sehalaman pun.
Atau, karena dia
skincare baru, makeup yang baru launch, lagi booming, formulanya
diklaim lebih bagus dari pendahulunya, jadi holy grail para beauty
enthusiast dan selebgram, jadi saya juga harus coba, dengan dalih “yang
penting sudah coba juga, kalau Cuman deceritain orang gak seru” sambil
membenarkan tindakan-tindakan itu like: nothing to lost, kan yang
penting kepuasanku terpenuhi, dan terus mengejar kepuasan-kepuasan sementara
yang tidak ada habisnya. and on, and on.
Pada akhirnya
barang-barang yang tidak benar-benar fungsional itu hanya memenuhi kamar, tidak
terpakai, atau tidak sempat dihabiskan kemudian expired. Bikin kamarku
jadi overload, selalu berantakan, proses pembersihan dan merapikannya
memakan waktu lama dan membuang banyak tenaga. Itupun rapihnya tidak pernah
bertahan lama.
Belum lagi
barang-barang yang tadinya dibeli untuk jadi dekorasi rumah/kamar, karena
belinya semberono atas dorongan impulsif akhirnya menumpuk dan hanya
jadi sampah, bikin ruangan jadi seperti kebun binatang. It upsets me a lot.
Yah dulu saya begitu!
In
the end of the strugle, I choose to become a minimalist.
“Mau hidup minimalis aja kok repot benner, pake mikir panjang dan lama, kan tinggal mengurangi jumlah barang dan berhenti membeli yang tidak dibutuhkan!”
Untuk menjadi seperti itu tidak mudah, terlebih lagi yang terpenting adalah bagaimana bisa menemukan kenyamanan, bisa konsisten dan lebih disiplin. Tidak hanya panas panas di awal.
Alasan ini juga
yang bikin saya jarang mereview produk akhir-akhir ini, entah kenapa saya
merasa bersalah aja gitu, selain karena saya harus membeli produk yang
baru launching untuk direview padahal belum tentu bakal dipakai sampai
habis.
Belum lagi kalau
ternyata tidak cocok atau saya kurang suka sama tekstur dan lain-lainnya,
karena untuk tau produknya bakal cocok ya harus dicoba, tidak bisa hanya
sekedar menebak, ingedient list dan klaim produk serta review
orang-orang yang sudah mencoba memang akan sangat-sangat membantu. Tapi
persoalan peneriamaan kulit dan selera kembali lagi ke saya secara personal.
Alasan lain juga karena itu membantu orang lain jadi lebih konsumtif dan membangkitkan
gairah berbelanja.
Baca Juga: Merawat Harapan
Baca Juga: Merawat Harapan
“Loh kan bloger biasanya mereviw produk disponsori brand, kan gak usah beli, kan enak tinggal tulis reviewnya saja?!”
Setidaknya saya harus tau kalau produknya benar-benar aman, dengan meriset di internet atau kalau dia produk baru, saya masih harus mengecek track record brandnya dengan produk terdahulu mereka. Kemudian mencoba setiap produk sebelum diulas, I have a sensitif and acne prone skin, risiko terhadap reaksi negatif sebuah produk itu selalu jadi hal yang paling penting untuk dipikirkan. Kalau tau-tau kenapa-napa kulitnya setelah pake produk yang tidak cocok kan bisa makin ribet urusannya. Makanya saya selalu mencoba seselektif mungkin dalam pemilihan produk terutama untuk kulit wajah.
Saya butuh waktu
lama untuk memikirkan ini, dan memutuskan untuk lebih selektif lagi, mungkin
tidak akan berhenti secara derastis. But, i will try my best untuk tetap
mereview dan share ke kalian, karena saya tau beberapa di antara orang
yang ingin membeli sesuatu, entah itu kebutuhan pokok yang mendesak atau hanya
sekedar ingin coba saja. Entah itu harganya murah atau mahal, biasanya akan
mereset dulu, baca review orang-orang yang sudah pakai produk itu.
Karena informasi
produk yang hendak kita beli itu sangat-sangat membantu, bikin kita bisa lebih mindful
dalam berbelanja, kita jadi bisa tau seberapa worth produk itu untuk
dibeli, apakah akan cocok di kita, dan dari ulasan-ulasan di internet juga kita
bisa well educated and being a smart buyer.
Pertimbangan-pertimbangan
itu yang bikin saya sedikit termotivasi untuk tetap mereview produk dan share
hal-hal yang bermanfaat, mengingat internet akhir-akhir ini jadi makin toxic
banget somehow. Makin kesini yang di-frame di pemberitaan dan
media sosial itu makin bikin ah sudahlah. i decided to not give a shit on.
Tidak rela saja bersumbangsi untuk ketenaran oknum-oknum pencari perhatian
ditengah pandemik dan berita-berita tidak penting seputar konflik rumah tangga
orang lain. Appan sih?
Kembali ke soal
pilihan hidup minimalis, I even try it for couple of months, tapi
benefitnya beneran banyak dan terasa banget. Saya merasa lebih bahagia, lebih
bisa menikmati hidup setiap saat, dan yang paling penting persoalan kepuasan
yang rasanya tidak pernah ada cukupnya itu jadi lebih terkontrol. Less is
more, memiliki lebih sedikit barang memberikan lebih banyak ruang, wich is
bikin ruangan jadi lebih lapang dan nyaman, membersihkan dan merapikannya juga
jadi lebih mudah dan bikin bersemangat untuk melakukan hal-hal baik lainnya.
Semacam ada saja
hal baru yang bisa saya pelajari setiap harinya, hidup lebih mindful,
lebih teratur dan lebih mudah mendisiplinkan diri sendiri. Yah walaupun saya
tetap masih kesulitan dengan pola hidup yang entah bagaimana selalu random.
tapi hidup minimalis sedikit banyak membantu saya untuk bisa merasa hidup lebih
bermakna, terutama untuk diri sendiri dulu.
Pertama kali memutuskan
untuk mengadopsi konsep hidup minimalis sejak saya menonton video Marie
Kondo di kanal youtub, yang terkenal dengan Metode Konmari-nya, seorang
profesional konsultan organisir dari jepang, negara dimana konsep hidup
minimalis ini lahir.
Saya sudah lama
tau soal konsep hidup minimalis ini sih sebenarnya, tapi baru benar-benar
tertarik menyimak setelah pemerintah mewajibkan stay at home, saya jadi
banyak waktu untuk nonton youtube :D
Baca Juga: Monik: Proyeksi Keadaan Anak Pulau dan Pelosok
Baca Juga: Monik: Proyeksi Keadaan Anak Pulau dan Pelosok
Setelah
benar-benar yakin untuk memulai konsep hidup minimalis ini, hal tersulit
pertama yang kulakukan adalah decluttering isi lemari dan mengeluarkan at
least 30% isinya untuk disingkirkan, dan hanya menyisakan pakaian yang
benar-benar akan terpakai. Semua pakaian yang at least tidak pernah
terpakai sama sekali dalam enam bulan terakhir, kecuali kostum yah (party
dress, jacket, setelah formal and any thematic costume tetap
disimpan) Sumpah ini permulaan yang sulit. Tapi ini penting dilakukan untuk
menjadi lebih rapih dan minimalis tentu saja.
Bagian tersulit
selanjutnya adalah decluttering skincare dan makeup and
any beauty stuff. Dari sini juga saya tau kalau banyak produk yang sudah expired
dan kusedih.
“Barang-brang yang sudah disortir dan akan disingkirkan itu dikemanakan?”
Yes
ofcourse, sebagian barang harus dikeluarkan dari
kamar, dari rumah kita, dari kehidupan kita. Saya baru hanya membuang yang
tidak layak pakai saja, seperti yang sudah expired atau pakaian yang tidak
layak pakai, entah karena terlalu seksi or something. Tapi yang masih
layak pakai dan tidak bisa saya habiskan sendirian tentu saja harus tetap
dikeluarkan, supaya tidak mubazir mungkin nanti akan saya berikan saja ke yang
akan menggunakannya atau yang membutuhkannya.
Sayangnya di
sekitar tempat saya tinggal belum ada tempat pendistribusian barang handsecond,
mungkin akan lebih seru kali’ ya kalau ada semacam bank handsecond
stuff gitu di pinggir-pinggir jalan yang bisa bebas orang lain mengisi dan
mengambil sesuai kebutuhan. Bisa jadi win-win solution juga untuk orang
yang ingin menyumbangkan stuff-stuff mereka yang masih layak
pakai dengan mereka yang membutuhkan stuff-stuff itu. Di negara-negara
eropa sudah banyak yang menerapkan seperti ini, di Indonesia saya belum pernah nemu
sih.
In the end, this is my new normal, bukan hanya sekedar perubahan: harus pakai masker, rajin cuci tangan dan physical distancing. But more and more. I will share you soon.
Thanks for reading, see you!
*Disclaimer:
bahasanya mungkin agak kacau, sudah lama gak nulis :p
1 komentar
saya pelan-pelan menerapkan ini, dimulai dari tidak membeli pakaian untuk tahun ini. untuk buku, belum bisa berhenti beli sama sekali, mengurangi sih iya lumayan berhasil.
ReplyDelete