Sang
penyihir dari Portobello
Bagaimana
menemukan
keberanian untuk senantiasa jujur pada diri sendiri – bahkan pada saat kita tak yakin
akan diri kita?
Itulah
pertanyaan utama dalam karya terbaru penulis bestseller Paulo Coelho, sang
penyihir dari Portobello. Kisahnya tentang perempuan misterius bernama Athena
yang disampaikan oleh banyak orang yang mengenalnya dengan baik — atau nyaris tak mengenalnya
sama sekali. Seperti halnya sang Alkemis, kisah sang penyihir dari Portobello
ini memiliki kekuatan untuk mengubah sudut pandang para pembacanya mengenai
cinta, gairah, suka cita, dan pengorbanan.
Kalau
kalian sudah baca The Witch of Portobello, pasti tau kalau itu bukan pendapat
saya. Tapi sinopsis
bukunya hahah. Lalu saya tidak sependapat gitu sama sinopsisnya?
Yah,
tentu saja sependapat pada beberapa hal, sisanya berhasil mengubah sudut
pandang saya. Yakan, itu juga sependapat namanya.
Oke, tapi pada beberapa hal
lain, buku ini cukup absurd
menurutku.
Saya
gemar jajan buku, sedari dulu. Kuanggap itu sebagai kebiasaan baik. Meski tidak
benar-benar membaca, yang kemudian
menjadi kebiasaan buruknya.
Lalu, kebiasaan buruk
selanjutnya adalah, saya tidak pernah benar-benar teliti dalam memilih, kadang
suka random dan asal ambil saja.
Apalagi kalau sampulnya menarik atau sekedar tau penulisnya, tanpa membaca
sinopsis.
Karena
saya bukan pembaca yang rajin, kegemaran mengumpulkan buku sebenarnya menjadi
upaya membujuk diri sendiri untuk
membaca. Entah
kapan akan dibaca, tapi kalau sudah punya dulu, nanti bisa dibaca kapan-kapan.
Seperti
The Witch of Portobello, punya Paulo Coelho ini, sudah terbeli sejak awal tahun
lalu tapi baru sempat mulai terbaca.
Waktu
memilih ini,
saya bahkan tidak benar-benar membaca judulnya, hanya karena saya sudah pernah
membaca Sang Alkemis
dan Aleph yang memikat – (Karangan
Paulo Coelho yang lain).
Tau-taunya
ini bukan novel, melainkan biography seorang penyihir dari sudut pandang
orang-orang yang mengenalnya. Tapi seperti biasa, Paulo selalu berhasil memikat
dengan gaya menulisnya yang menarik.
Meski buku ini tidak sebegitu menarik sebenarnya.
Hanya
kebetulan saja sedang saya baca, dan di waktu yang bersamaan saya menerima
tantangan menulis dari pemilik Blog Lelaki Bugis, dalam menyiasati kemalasan
dan Mind Block yang menyerang
beberapa bulan belakangan.
Task
ini saya terima tentu saja dengan
kesepakatan “Tulisan tak mesti bagus, tapi dibelikan buku” Hahahah, bagian yang
paling menggiurkan. Kalau kalian kebetulan punya dendam pribadi pada si Lelaki
Bugis, saya rasa ini adalah kesempatan untuk merekomendasikanku buku yang bagus
sekaligus paling mahal harganya.
Sebenarnya ada tiga pilihan
tema, selain review buku (menanggapi hasil bacaan), ada film dan juga nongkrong
di cafe sambil mengamati suasana. Sekarang sedang musim hujan dan banjir di
mana-mana, bikin malas beranjak dan film yang sedang saya tonton sekarang hanya
Game of Thrones, jangan tanya mengapa saya baru menonton film yang sudah
digemari jutaan umat sejak dulu itu.
Karena kalau saya mengambil task review film, saya pasti akan
menggarisbawahi bagian yang keren dan bagian yang mengganggu. Sedang saya tidak
ingin menuliskan bagian yang menggagu itu. Misalnya, Daenerys Targeryen yang
gemar pamer tubuh (Alle, keceplosan). Masih jarang yang tahu kalau imajinasi
saya cukup liar (Kan, keceplosan lagi -_-)
Baca juga : Illana Tan - In A Blue Moon
Baiklah, kita kembali membahas bukunya.
Athena, penyihir perempuan yang dikisahkan sebagai lakon
dalam The Witch of Portobello ini adalah seorang yang dalam pencarian jati
dirinya menemukan puncak kepuasan spiritual melalui tarian dan musik.
Nama Aslinya Sherine khalil, ia seorang anak gipsi (yang
menurut legenda, bangsa gipsi suka menculik anak-anak dan membawa mereka ke
karavan) terbuang yang lalu diadopsi dari penampungan anak yang dingin, dibawa
ke lebanon.
Ia melalui masa-masa remajanya dengan banyak pertanda.
Pertanda keterlibatan berbagai hal mistis dalam hidupnya. Seperti, ia kerap
bercerita tentang kawan-kawannya yang berjubah putih. Oleh legenda ditandai
sebagai malaikat dan berkenaan dengan kemampuan sihir dalam era dimana kejayaan
dunia sihir telah lama musnah dan semua yang tak bisa dijelaskan dengan ilmu
pengetahuan tak punya hak untuk eksis.
Perburuan dan pembantaian ras penyhir telah lama berlalu.
Di abat ke-21, bentuk lain dari perburuan penyihir, yang senjatanya bukan lagi
besi panas menyala, tetapi ironi dan depresi. Siapa pun yang kebetulan
menyadari talentanya (keahlian sihir) dan berani mengungkapkan kelebihannya,
lebih sering dihadapkan pada ketidakpercayaan, dan akan dianggap sebagai cela
dan penghinaan bagi keluarga mereka. Keahlian sihir itu pula yang telah membuat
Athena terbunuh secara brutal.
Ia memutuskan untuk menikah di usia muda, dan juga
memiliki anak lelaki yang kemudian menjadi alasan perceraiannya dengan Lukas,
yang merasa diabaikan oleh kehadiran anaknya sendiri. Ini bagian yang menurutku
cukup absurd dan sedikit tidak masuk akal. Obsesi Athena mengabdikan hidup
untuk merawat putranya. (mungkin buibu
dan pakbapak lebih paham soal ini,
apa iya seorang akan begitu terobsesi pada pengabdiannya mengahiskan waktu
hanya untuk anaknya?!) dan dipengakuan yang lain, ia mencintai lukas melebihi
pria mana pun yang pernah ia temui, sekaligus tak berbuat apa-apa saat lukas
mengajukan wacana cerai.
Bagian-bagian absud selanjutnya berkenaan dengan
keyakinan, yang tak mungkin kugugat. Tapi selain bagian yang absurd, ada
beberapa bagian yang kusuka.
Ada satu kutipan yang menarik di buku ini; “Tidak seorang
pun bisa memanipulasi orang lain. Dalam setiap hubungan kedua belah pihak paham
apa yang sedang mereka lakukan, bahkan jika salah satunya mengeluh di kemudian
hari bahwa dia hanya dimanfaatkan”.
Ragam terjadi, dalam hal hubungan asmara, atau tengah
jatuh cinta misalnya. Di saat kalian keluar rumah untuk acara kencan, memangnya
kalian meninggalkan akal sehat di rumah? Tidak kan?
Nah, kalau tak pakai akal sehat, kelak jika hubungan itu
tengah menghadapi kemelut, misalnya. Beberapa orang akan menganggap dirinya dimanfaatkan
dan berlaku sebagai korban. Aye, mau gimana lagi, mamam tuh!
Bagian mengesankan lainnya dari buku ini, adalah kisah
yang diceritakan oleh seorang jurnalis bernama Heron Ryan, yang mengenal Athena
dan sempat terjebak perkara mistis dalam perjalannya.
Sebelum mengenal Athena, ia menganggap kelebihan mistis
(seperti sihir yang dapat menyembuhkan) hanyalah cara curang untuk
mengeksploitasi keputusasaan orang-orang.
Begitu pula dalam perjalannanya ke Transylvania untuk
membuat film dokumenter tentang vampir, dianggapnya sebagai salah satu cara untuk
membuktikan betapa mudahnya manusia dibodoh-bodohi. Takhayul-takhayul tertentu,
betapa pun tidak masuk akal kelihatannya, tertanam dalam imajinasi manusia dan
sering kali dipergunakan oleh penipu untuk memperdaya manusia.
Ketika ia mengunjungi Kastil Dracula yang telah
direkonstruksi hanya untuk memberi kesan pada para turis seakan-akan mereka
berada di sebuah tempat istimewa, ia didekati oleh seorang pegawai pemerintah
yang mengatakan bahwa ia akan menerima penghargaan sitimewa ketika film itu
ditayangkan di BBC.
Heron Ryan disangka sedang membantu propoganda mitos
mereka (Kastil Dracula) dan karenanya pantas menerima pemberian istimewa. Salah
seorang pemandu wisata juga menceritakan kalau jumlah pengunjung meningkat tiap
tahunnya dan publikasi macam apa pun tentang tempat itu akan selalu berdampak
positif, termasuk sebuah program yang berkata bahwa kastil itu palsu.
Perihal keyakinan akan hal-hal mistis, saya teringat status
seorang kawan Facebook yang sempat lewat di lini masa beberapa bulan lalu.
Alhasil, saya terpaksa mengubek-ubek lagi facebooknya untuk menemukan bagian
itu. Wim Poli, pemilik akun itu (yang setahuku, beliau adalah salah satu dosen
di Unhas) menulis dengan judul “Fakta dan Keyakinan” yang isinya mengenai
keyakinan seseorang yang terbentuk melalui fakta yang dialaminya.
Sekali keyakinan terbentuk maka sukar berubah ketika
menghadapi fakta yang bertentangan. Bahkan fakta yang bertentangan itu bukannya
mengubah keyakinannya, melainkan mungkin ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
lebih memperbesar keyakinannya.
Bagian ini juga disertai contoh sejarah. Seperti;
Berulang kali terjadi adanya sekte yang meramalkan bahwa dunia akan kiamat pada
tanggal tertentu. Para anggota sekte berbondong-bondong melakukan rituan dan
pengorbanan begitu mendekati tanggal yang ditentukan. Ketika dunia ternyata
tidak kiamat, mereka menganggap ritualnya diterima dan jadi penyebab gagalnya
kiamat. Yakali’ kiamat memang belum
waktunya.
Di sekitar kita juga banyak takhayul beredar, perihal bencana
alam misalnya, banjir di Makassar dan sekitarnya. Oleh kawan-kawan saya malah
ramai diguyonkan; Kenapa banjir terjadi? Itu karena Jokowi presidennya. Atau,
banjir ini terjadi karena bukan Prabowo presidennya.
Atau, jangan-jangan saya masih jomlo karena presidennya
jokowi XD