Nostalgia Pesona Bahari Pulau Badi
Sudah sejak
lama, saya ingin bercerita tentang perjalanan. Tapi belum pernah ke mana-mana sejak beberapa waktu belakangan ini.
Gairah
berceritanya disulut seorang kawan yang berada jauh. Di Lombok. Semoga kelak
saya berkesempatan berkunjung ke sana. Atau si kawan kembali berkunjung ke kota
kami. Serta tagihan beruntun dari kawan saya Bintang.
Kukatakan: Di
Sulsel juga banyak pulau yang indah. Sekaliber tiruan surga yang sengaja dicipta di bumi. Supaya penduduk bumi tak bosan. Salah satunya adalah Pulau Badi.
Saya hanya tengah menerawang
ingatan-ingatan di hari itu.
Tepatnya 17 Oktober 2015, saya beserta empat orang kawan lainnya mengunjungi
pulau Badi.
Masing-masing kami berangkat dengan misi utama yang berbeda. Namun
setidaknya dengan satu harapan sebagai bonus perjalanan yang sama,
berlibur. Hanya petunjuk itu yang saya ketahui sebelum perjalanan dimulai.
Bintang, kawan yang sudah saya kenal
sejak beberapa tahun lalu
mengajak saya mengunjungi pulau Badi. Mau
snorkeling katanya. Di
pulau Badi pemandangan bawah lautnya cukup indah. Kita
juga bisa menikmati ikan-ikan segar tangkapan para nelayan.
Malam sebelum
keberangkatan, saya hanya dipesan untuk membawa beberapa
pasang pakaian yang nyaman.
Kami akan menginap semalaman
di sana. Rute
perahu hanya sekali sehari:
Berangkat di siang hari sekira pukul 13.00 dan pulang
di jam yang sama esok harinya. Lagi pula memang harus menginap. Tidak akan sempat jika
harus pulang di hari yang sama.
Ini adalah perjalanan pertama saya ke
pulau. Dimulai
tanpa banyak pertanyaan, sebab tahu betul bagaimana Bintang sudah sejak lama
berkunjung ke banyak pulau di sulawesi selatan. Sejak
ia bergabung dengan komunitas Lentera Negeri. Ia kerap mendatangi pulau-pulau
terpencil untuk sekedar berbagi cerita dengan anak-anak usia sekolah di sana,
juga mengajari mereka baca tulis jika sempat.
Sekalipun saya baru diberitahu
rencana perjalanan di malam harinya,
sebelum berangkat keesokannya.
Mengetahui kami akan berangkat berombongan beserta kawan
perempuan yang juga ikut bersama kami, saya cukup lega. Bintang dan
kawan-kawannya pasti sudah punya persiapan matang untuk ini. Paling tidak soal
transportasi dan penginapan sudah mereka urus.
Meskipun saya sempat khawatir juga
hari itu.
Kalau-kalau ternyata itu bukan liburan, tapi kegiatan
komunitasnya.
Untunglah kata Bintang hari itu
memang ada agenda komunitas dan beberapa volunteer
akan berkunjung ke pulau Badi untuk agenda bulanan. —Volunteer dari komunitas mengajar Lentera Negeri punya agenda
bulanan:
Mengunjungi pulau secara random untuk berbagi
pengalaman, cerita dan ilmu pada anak-anak yang bermukim di pulau.— Tapi untuk kami berbeda. Ini
hanya sekedar jalan-jalan biasa.
Yang menginisiasi liburan
sebenarnya bukan Bintang.
Iccang,
salah satu teman yang bersama kami lah yang punya
inisiatif itu.
Kebetulan dia hendak mengambil GPS yang ia titipkan
beberapa bulan lalu di sana. Iccang juga sudah mengenal baik pulau itu. Setelah
sebelumnya melakukan PKL di sana. Dia
mahasiswa Unhas jurusan perikanan,
memilih pulau Badi sebagai wilayah penelitian
singkatnya. Dia sudah mengenal beberapa penduduk pulau. Tahu
harus menghubungi siapa untuk membawa kami menyeberangi lautan menuju pulau
Badi.
Kami menyeberang menumpang perahu
motor milik pak Dollah yang penumpangnya bukan hanya kami. Keseluruhan
sekitar lima belas orang bersama beberapa warga yang memang bermukim di pulau
tersebut.
Mereka hendak pulang setelah membawa hasil laut
tangkapan mereka untuk dijual pada pengepul yang sudah menunggu di pelabuhan
Paotere. Sebagian
yang lain pulang setelah membeli beberapa keperluan rumah tangga di kota Makassar.
Pelabuhan Paotere menjadi titik pertemuan kami
hari itu. Tepat sehabis Zuhur kami sudah harus berkumpul di sana jika
tak ingin ketinggalan perahu. Untuk menyeberang menuju pulau Badi ada beberapa
alternatif penyeberangan yang bisa kita dipilih: Pelabuhan Paotere, Kayu
Bangkoa di Jalan Pasar Ikan, atau Dermaga Benteng Panynyua di depan Fort
Rotterdam.
Numpak kapal cepat milik
salah seorang nelayan yang berusia kisaran setengah abad itu, kami menempuh
perjalanan sekitar 2 jam lebih 15 menit. Tergantung kecepatan
perahu motor dan kondisi ombak. Kami sama sekali tidak menggunakan life jacket atau pengaman apapun. Sebagai
yang tidak pandai renang,
saya sempat risau, kalau-kalau terjadi apa-apa dengan perahunya maka tamatlah
saya. Untungnya
waktu itu saya masih cukup muda hingga gappang saja menepis risau.
Sepanjang perjalanan kami banyak mengobrol
dengan penumpang lain.
Mereka ramah dan antusias, bahkan sebagian menawari
kami menginap di rumahnya.
Karena tahu kami pendatang. Tapi saya menolak dengan
alasan sudah punya tempat untuk menginap —walaupun belum tau pasti soal ini,
tapi kata Bintang “aman” dan saya punya imagine
yang cukup baik soal itu—
Setelah benar-benar sampai di sana
baru lah saya tahu kondisi yang sebenarnya. Di tahun itu, jangan harap menemukan satu pun
penginapan selain bibir laut dan seluas punggung pulau yang bisa dijadikan tempat nginap dengan membangun camp atau memilih salah satu rumah warga
untuk numpang nginap. Pantas saja beberapa orang senyum-senyum ketika saya
menolak tawaran menginap di rumahnya dengan alasan sudah punya penginapan. Saya
protes soal ini kemudian. Ditertawakan
oleh Bintang.
Baca Juga: Rumah Kecil
Baca Juga: Rumah Kecil
Tepat saat kapal cepat yang kami
tumpangi bersandar di salah satu dermaga (di pulau Badi ada dua dermaga
penyeberangan).
Pulau itu menyuguhkan pemandangan yang luar biasa
indah, biru air yang jernih dengan bayang-bayang terumbu karang nampak berkilauan
terkena pantulan sinar matahari,
serta pasir putih yang dari kejauhan terlihat lembut. Entahlah, saya
tidak menemukan diksi yang tepat untuk menggambarkan keindahannya, saya sampai
lupa kalau tadi sepanjang perjalanan menegang sebab risau takut tenggelam.
Pulau Badi yang juga dikenal sebagai wilayah
percontohan rehabilitasi rumput laut terbesar dunia dan tempat budidaya
kuda laut. Terletak di Desa Mattiro Deceng, Liukang Tupabbiring, Kabupaten
Pangkajenne Kepulauan (Pangkep) dengan luas wilayah sekira 6,50 hektar yang dihuni 400
kepala keluarga sejak tahun 2007 menurut data statistiknya. Di pulau ini juga
terdapat banyak hal menarik, selain panorama alamnya yang amat indah.
Pulau itu terbilang tidak terlalu
luas, namun padat penduduk.
Hampir semua rumah dibangun dengan model dan warna
yang serupa. Rumah panggung dengan tiang penyanggah yang tidak terlalu tinggi. Semua bangunan
dilengkapi teras yang nyaris mirip satu sama lain, membuat saya sedikit
kebingungan. Belum lagi keberadaan rumah yang berdempetan hanya disekat dengan
lorong-lorong. Kami
harus berbelok beberapa kali sebelum akhirnya menemukan rumah pak Dollah, yang akan kami jadikan
tempat berteduh selama kami di pulau.
Barangkali saya bisa tersesat jika berjalan sendiri.
Penduduk pulau Badi sebagaimana
juga masyarakat di pulau-pulau terpencil pada umumnya,
didominasi nelayan. Akses pendidikan yang tak begitu memadai menjadikan masyarakat
pulau Badi sebagian besarnya tunaaksara. Hal serupa juga dirasakan oleh
anak-anak usia sekolah di sana. Banyak yang sudah berumur 9 tahun ke atas tapi
belum pandai baca. Saya akan sudah menceritakannya di sini.
***
Sesampainya di
rumah, kami disambut hangat oleh istri pak
Dollah, dan dipersilahkan untuk menganggap rumah itu sebagai milik sendiri
tanpa perlu merasa sungkan. Tak
hanya keluarga pak Dollah, anak-anak di pulau Badi pun sama supel. Di sore
menjelang malam, kami sudah dikerumuni anak-anak, tepat di depan rumah Pak
Dollah. Bintang memandu mereka, diajaknya duduk melingkar, bercerita,
berkelakar, sampai ke permainan games,
kemudian baris-berbaris. Saya mengambil langkah mundur menjauhi kerumunan.
Sedikit menikmati aroma laut yang tajam serta angin pantai yang cukup dingin.
Tenang sekali.
Keesokan
harinya, di pagi buta, pak Dollah sudah turun laut, seperti warga lainnya yang dominan adalah
nelayan. Sedangkan saya masih menikmati bermalas-malasan, efek lelah dari
perjalanan kemarin baru terasa. Saya baru bergegas keluar rumah setelah Bintang
dan Pak Dollah kembali, bersama seember cumi berukuran sedang. Kawan
seperjalanan lain juga sudah mempersiapkan pembakaran. Kami akan sarapan dengan
cumi bakar. Semua cumi hanya dicuci bersih lalu ditata di atas pembakaran. Masih
di depan rumah pak Dollah.
Setelah
dirasa cukup matang, cumi kemudian disantap bersama biji cabai yang diurak-arik
di piring berisi kecap. Nikmat dan berhasil membuat saya klenger setelah
menghabiskan cukup banyak. Beberapa minggu setelahnya saya lewati tanpa cumi.
Sehabis menyelesaikan
sarapan pagi, kami lalu berkeliling pantai ditemani anak-anak yang bermukim di
pulau Badi, ramai sekali. Belasan anak ikut menemani. Sebagian mereka ikut
berenang, sebagian yang lainnya hanya bermain pasir di bibir pantai.
![]() |
Kalau melihat anak-anak pulau berenang lincah, di situ kadang saya merasa, hiks. |
Seperti rencana awal, kami snorkling (tak
usah membayangkan bagaimana si tak pandai renang ini ikutan snorkling) saya
hanya menetap di pinggir-pinggir, atau menempel di kaki penyanggah dermaga atau
di tuntun, hahaha.
![]() |
Nah kan, beginilah jadinya kalau tak pandai renang. Harus dituntun di kedalaman tertentu hahaha. |
Di kesempatan itu, kami bawa alat snorkle dari rumah, di sana belum ada penyewaan alat. Mungkin sekarang sudah ada. Tapi kalau mau snorkling dan menikmati keindahal dasar laut Pulau Badi, sebaiknya persiapkan alat sendiri beserta perlengkapan lainnya, seperti topi dan sunblock, cuaca pulau Badi cukup panas, bahkan di sore hari, anginnya juga cukup kencang.
![]() |
Bibir pantai di sore hari, indah kan? |
Dasar laut di Pulau Badi sangat subur, terumbu
karangnaya cantik sekali. Kita juga bisa menemukan berbagai macam ikan
warna-warni, dan yang paling menyenangkan, di sana sangat jarang ditemui
gerombolan bulu babi. Benar-benar surga wisata bahari. Puas menikmati keindahan
laut, kami lanjut bermain istana pasir sambil mengobrol dengan anak-anak pulau.
Sayang sekali, di jam yang sama dengan
keberangkatan kami kemarin, kapal yang hendak kami tumpangi pulang menghentikan
kegembiraan di hari itu.
Facebook: Anugrah Reskiani
Instagram: @anugrahreskiani
Twitter: @anugrahreskiani
Email: anugrah1reskiani@gmail.com
4 komentar
Baru dengar nih namax pulau Badi. Memang banyak sekali ya pulau yg menjanjikan keindahan
ReplyDeleteSudah sering mendengar tentang Pulau Badi ini, tapi sayangnya belum sempat ke sini sendiri
ReplyDeletebelum sempat melihat langsung pulau ini.
mudah-mudahan nanti saya berjodoh juga dengan pulau ini
aku juga ga bisa berenang mba ;p.. pernah pas bareng teman kantor ke pulau samalona, aku takut banget di perahu karena mikir, ini kalo kebalik kamera dslrku lgs wafat, trus aku tenggelam hahahaha... makanya kurang suka kalo ke tempat2 yg hrs pake kapal :(. padahl atempat2 begini indahnya luar biasa juga yaaaa, trutama bawah laut... ntah kapanlah ini aku mau belajar renang demi bisa liat itu ;D. makanya sampe skr tujuan fav ku selalu gunung..
ReplyDeleteOh my God, di pulau Badi ini sinyal internet stabil tidak? Kalau iya, nanti kalau ke sana lagi tolong kabari saya. Saya mau ikut :D
ReplyDelete