Konstalasi Rindu Yang Enggan Tuntas
July 28, 2018
Peringatan: Seperti judulnya, tulisan
ini beraroma rindu dan sarat curhatan. Harap jangan melanjutkan jika tak sesuai
selera!
Pada beberapa hal yang enggan tuntas.
Seperti konstalasi rindu: timbul tenggelam. Saya menjadi teramat pengecut.
Tanpa bergurau, saya rindu. Tapi untuk kembali saya juga maju-mundur.
Padahal, “Apa-apa yang belum tuntas
akan selalu punya cara menemukanmu kembali” layaknya permainan karma.
***
Tiga tahun berselang, sejak saya
memutuskan mundur teratur dari aktivitas duduk melingkar bersama kawan yang
dipertemukan oleh selera serupa. Bincang buku. Ngobrol ngalor-ngidul yang kami
sebut diskusi, tanpa kursi. Supaya tak berakhir lempar kursi. Sekalipun sangat
jarang terjadi. Kadang-kadang saya juga ikut turun ke jalan. Menenteng toak.
Sesekali, (meski hampir tiap hari)
bale-bale dan rumput bawah pohon kerap menjadi tongkrongan, tentu saja setelah
kantin (yang dengan bulat suara disepakati sebagai fakultas pertama di kampus)
dengan alasan sederhana: karena ada kopi, sepiring gorengan yang baru nikmat kalau
diperebutkan, tak ada aksi buru ranking yang membosankan dan dosen yang memberi
nilai A pada mahasiswa asal rajin saja.
Karena saya bukan termasuk kategori
mahasiswa rajin, itu sudah pasti. Saya pengumpul huruf “A” di hampir semua
daftar hadir mata kuliah semester. Apalagi untuk jadwal kuliah pagi. Penyakit laten mahasiswa sudah menyerang saya
sejak tahun pertama kuliah. Terjaga sepanjang malam dan tidur setelah azan
subuh sudah biasa. Bahkan sampai hari ini, penyakit laten itu masih saya
pelihara jauh tahun pasca lulus kuliah. Bukan sesuatu yang baik. Tapi apa daya
mata tak kunjung berdamai.
Kebiasaan absen saya tak hanya
terbatas pada jadwal kuliah pagi, penyakit laten selanjutnya juga memebuat saya
kerap meninggalkan kelas, melipir ke kantin atau lebih senang mengikuti
kegiatan di luar kelas. Terlebih lagi kalau suasana kelas sudah mulai
membosankan. Yah saya pembosan yang akut. Mungkin semua orang juga kerap merasa
bosan, tapi “kebosanan” nampaknya mengambil lebih banyak ruang dalam kisah
hidup saya. (Bangke, tak ada bagus-bagusnya saya selama jadi mahasiswa)
Tapi saya tak sedang mencari
pembenaran kenapa saya tak kunjung pandai dan nilai IPK yang sama sekali tak
tinggi. Bahkan tak mencapai predikat Cumlaude.
Perihal saya berada di urutan pertama, pada akhirnya. Itu sama sekali bukan
hitungan. Hanya karena tak ada yang lebih tinggi saja nilainya di priode wisuda
angkatan saya di jurusan. Entah karena yang nilainya relatif lebih tinggi memilih tak
diwisuda berbarengan dengan saya. Atau karena saya yang terlalu tergesa-gesa
angkat kaki dari kampus. Saat lingkungan kampus sudah mulai membosankan di
tahun-tahun terakhir, membuat saya berbulat tekat tak melewati semester delapan.
Saya menyelesaikannya hanya 3 tahun setengah. disertai banyak penyesalan.
Terutama
penyesalan karena tak memanfaatkan waktu kuliah dengan baik sesuai standar
dikti haha. Tapi bukan berarti saya tak belajar. Belajar tetap menjadi hal
paling harus untuk saya lakukan (mengingat begitu banyak keterbatasan dalam
pengetahuan dan penalaran saya yang kadang-kadang tumpul dan lebih sering tak berguna),
meski tak selalu di ruang kelas.
Saya
lebih banyak melakukannya di luar ruang kuliah. Di unit kegiatan mahasiswa
(UKM), atau organisasi intra dan ektra kampus yang tak terlalu menarik untuk
diceritakan seluruhnya. Washilah, Lembaga Pers Mahasiswa yang menjadi tempat
pertama yang membuat saya lebih gemar bermainn di luar kelas dan menjadikan
saya dengan senang hati meninggalkan ruang kuliah sewaktu-waktu.
Selain
lembaga lain, lembaga pers mahasiswa menjadi salah satu yang kadung saya incar sejak memasuki tahun pertama kuliah. Sekalipun lazimnya semua
lembaga organisasi yang sarat perpeloncoan, bagi saya itu tak jadi soal, – asal
bisa jadi wartawan kampus dan punya akses lebih luas untuk belajar, juga
bisa menikmati nasi lombok yang enaknya tiada tara kalau sudah dikeroyoki
bersama.— Toh saya ahli menjadi orang yang menyebalkan kalau sudah mulai merasa
terusik, dan saya bisa jamin tak ada yang begitu senang melihat saya merasa
terusik.
Bermula
dari sana, semangat baca saya mulai tersulut, terutama pada karya sastra dan
novel. Dengan obsesi bisa membuat tulisan yang enak dibaca. Belajar jurnalistik
memang tak begitu bertalian dengan bidang kuliah saya di kampus yang mengambil jurusan
Perbandingan Hukum. Di Fakultas Syariah & Hukum UIN Alauddin Makassar (yang
sekarang berada di Gowa). Walau tak bertahan lama di lembaga itu, karena
sesuatu dan lain hal yang belum bisa saya bagi untuk sekarang. Tapi tetap
menjadi sebuah kesyukuran bisa melalui masa-masa itu.
Saya
tengah benar-benar rindu masa kuliah dulu (yang sama sekali tak saya temukan
selama hampir menyelesaikan program pascasarjana sekarang ini). Sangat sukar
untuk kembali merasakan yang sama. Singkatnya, saya sedang menikmati kondisi menjadi
manusia biasa yang tak terlalu berfaedah haha.
Saya
sudah benar-benar berubah sepertinya. Tapi bukankah semua hal juga akan
berubah?! Baik, saya pertegas, semua harus berubah, agar tak tertinggal. Atau
sekedar untuk beradaptasi. Anggaplah saya berada di alasan yang terakhir.
Mengingat,
saya yang dulunya urakan, bahkan tak pernah mengenal kosmetik dan sekarang
berani-beraninya mengkritiki lalu mereview skincare
dan kosmetik (cuman berlagak). Bahkan kalau diingat-ingat, saya tak pernah punya
masalah dengan ”mandi atau tak mandi” sebelum berangkat ke kampus. Apalagi di
pagi hari (saya tak suka dingin), dan merasa cukup pede hanya dengan mengenakan piyama tidur yang luarya dibungkus
jaket, PDH organisasi atau jas almamater kampus. Hingga merasakan sensasi
seperti kikuk-malu-mencelos saat
bepergian ke suatu tempat lalu salah kostum, benar-benar evolusi yang baru
belakangan ini saya rasakan. Sejauh itulah perubahan menggelikan yang saya
alami.
***
Berawal
dari genre tulisan, beberapa pekan lalu, terjadi baku debat antara saya dan
kawan yang saya kenal sebagai pembaca kelas berat. Meski tak ingin menamai
dirinya sebagai pemakan buku. Oleh genre bacaannya yang visibel di berbagai
tulisannya. “Itu menulis atau orasi?” saya menggodanya dan sepertinya berhasil
melukai egonya. Jadilah kami berdebat soal tulisan yang enak dan tak enak di baca.
Tulisan yang kaya dan fakir denotasi. Tulisan yang dalam dan dangkal makna.
Berujung pada penyerangan selera baca saya yang sudah mulai rusak atau
kemampuan menalar saya yang hilang. Untuk yang terakhir itu, saya akui
sepenuhnya.
Perdebatan
kami berakhir seri, sama-sama menemukan kekurangan pada selera baca dan hasil
tulisan masing-masing. Selera baca saya yang dangkal melahirkan tulisan yang
sama dangkalnya pula, dan kawan saya dengan selera baca kelas berat yang juga
menghasilkan tulisan yang sama sulitnya dicerna, atau kata lainnya “tak enak
dicaba.”
Tapi
kita masih sepakat, sebagai yang sama-sama pernah belajar hukum bahwa menulis
materi hukum sama sulitnya dengan belajar hukum. Sehingga sangat sulit
menemukan penulis hukum yang tulisannya enak dibaca tanpa mengurangi substansi.
Nampaknya sudah menjadi sebuah konsekuensi: tulisan hukum yang sarat muatan
akan terkesan terlalu kaku dan tak enak dibaca (Saya menggunakan standa selera
pribadi) sedang yang enak dibaca, kadang kala substansi hukumnya jadi samar. Jadi,
meski tak begitu suka berdebat, perdebatan kami kali itu banyak untungnya bagi
saya, terutama menemukan banyak referensi penulis hukum dan novel hukum yang
enak dibaca. Sekaligus juga sedikit meredakan kerinduan pada “aktivitas
kampus” seperti dulu. Meski tak tuntas.
Mengingat
beberapa tahun belakangan yang entah sejak kapan, ada beberapa jenis tulsian
yang tak menyenangkan untuk saya baca. Sejak saya menikmati waktu sebagai
pembaca kelas ringan yang lalu berimbas pada selera menulis saya. Menikmati membaca
dan menulis tulisan-tulisan yang maknanya sedangkal “makna berhenti bersaaman
dengan titik di ujung kalimat”. Menikmati waktu bersibuk-sibuk yang tak jelas
(sibuk yang sia-sia) Atau sekedar menikmati melihat dua orang perempuan yang
bertemu saling cipika-cipiki hanya untuk mengendus aroma parfum satu sama lain,
kemudian sibuk dengan pikiran masing-masing seputar “merk parfumnya apa dan
harganya berapa – milik saya tak kalah bagus – besok saya akan pilih yang jauh
lebih bagus.”
Terlalu
satire? Atau frontal?
Tak
perlu risau, ini wilayah pribadi, anggap saja saya sedang berada di rumah sendiri.
Terlalu pengecut memang. Seperti itulah saya yang tak lagi gemar melakukan
hal-hal tanpa rasa takut, hanya untuk dibilang pemberani. Itu bukan berani,
melainkan nekat. Bukankan berani sejak dulu tak pernah berubah? Di mana kau
melakukan hal-hal justru dengan rasa takut!
<<To
be continue>>
Follow Me On:
Facebook: Anugrah Reskiani
Instagram: @anugrahreskiani
Twitter: @anugrahreskiani
Email: anugrah1reskiani@gmail.com
14 komentar
Kamu adalah apa yang kamu baca.
ReplyDeleteHey Firman :)
DeleteYup betul sekali. Saya juga pernah baca quot "Apa yang kamu baca hari ini adalah kamu lima tahun yanga akan datang" waw
Wah... adek ku juga se fakultas sama kamu... uga angkatan berapa?
ReplyDeleteOh yah? Saya angkatan 2011 beb hihihi
Deletewah tulisan kak uga luar biasa, penuh makna yang tersirat dan tersurat.wkwkwkw
ReplyDeleteWakakakkaka. Saya curiga Indah berimajinasi ke mana-mana hahah. Tolong jangan liar imajinasinya hhahaha
DeleteMEmang sih, pengalaman dulu takkan kembali dan takkan pernah ada samanya. Saya juga masih rindu pengalaman kuliah dulu, bukan ketika di kelas tapi ketika ngumpul, mendengarkan diskusi atau materi yang diberikan senior. Saya rindu suasana maskulin yang membebaskan saya hilir-mudik tanpa di-bully. Dulu saya lumayan aktif di himpunan mahasiswa, soalnya. :D
ReplyDeleteBener kak.. Dan, sama kak saya juga lebih suka aktivitas di luar kelas hahah. Bebas tanpa ada stereotype yang yangekat antara laki dan perempuan hihihi
DeleteKlo saya.tergantung temanya sih. Klo suka temanya, bacaan berat dan ringan pun tetap sama. Keren tulisannya Uga
ReplyDeleteHeheh makasih kak Abby :)
DeleteWuih, Uga ternyata mahasiswa tukang demo dulunya 😂😂
ReplyDeletePadahal saya nda bilang kalau saya pernah demo kak hahahha. Masa lalu kak huhuhu
DeleteKeren eui..jadi mahasiswa yang "bebas"
ReplyDeleteHihihi iya bun. Jadi malu-malu sendiri Uga ketahuan bandelnya >_<
Delete