REVIEW BUKU: PENGANTAR ILMU HUKUM L.J. VAN APELDOORN
Saya mereview
buku ini bukan karena bukunya baru, atau hanya sekedar menarik untuk diulas.
Lebih kepada agar saya tidak kehilangan jejak suatu hari nanti kalau-kalau buku
ini sudah menemukan pemiliknya. Ini juga sudah saya rencanakan sejak lama, tapi
baru menemukan kesempatan yang pas. Jika kamu merasa pernah memiliki buku ini,
lalu tiba-tiba menghilang dari kolom rak bukumu, mungkin ini adalah milikmu.
Buku Pengantar Ilmu Hukum karangan L.J. Van Apeldoorn merupakan salah satu referensi krusial bagi
mahasiswa hukum menurut saya. Secara, siapa sih yang tidak mengenal Van Apeldroorn jika mereka pernah
belajar hukum?!
Cetakan pertama
buku ini dipublish tahun 1954 sekitar sembilan tahun setelah Indonesia
merdeka, dan yang sedang bersama saya
ini adalah cetakan ke-17 yang dipublish tahun 1981, usianya sudah 36 tahun,
usia yang lebih dari cukup untuk mengukur seberapa berharga buku ini. Lumayan
jadul yah? Mungkin juga sudah stop cetak.
Buku ini masih
banyak menggunakan peristilahan dalam bahasa asli, yakni bahasa Belanda,
sebagaimana hukum di Negara kita yang masih mengadopsi warisan hukum dari
penjajah. Karakter bahasanya pun masih bernuansa melayu, membuat kesan buku ini
jadi bacaan yang lumayan berat dan rumit, serumit pembahasan hukum bagi pemula.
Van Apeldoorn
membuka pembahasan Pengantar Ilmu Hukum
dalam buku ini dengan mengutip tulisan Kant
beratus-ratus tahun yang lalu, “Noch suchen die Juristen eine Definition zu
ihrem Begriffe von Recht.” Dan defenisi itu masih tetap berlaku hingga
kini, Karena hampir semua ahli hukum memberikan defenisi yang berlainan tentang
hukum, setidaknya belum ada defenisi hukum yang menyangkut semua sudut yang
disepakati bersama. Mungkin itu pula yang membuat pembahasan tentang “apa itu
hukum?” kerap kali digiring dalam diskusi dan berakhir debat kusir.
Kalau kata
teman-teman “Jika ada sepuluh orang ahli hukum duduk bersama dan merumuskan
tentang hukum, maka akan muncul sebelas defenisi, teori atau doktrin hukum.”
Itulah mengapa jika ada yang bertanya “Apakah sebenarnya hukum itu?” tidak
dapat dikatakan begitu saja. Karena sangat banyak yang termasuk di dalam hukum
yang satu sama lain sangat berlainan, sehingga tidak dapat disatukan dalam
defenisi yang yang serentak, dengan memperhatikan undang-undang sajapun, kita
sudah dapat memungut pelajaran bahwa tidaklah mungkin memberikan defenisi
tentang hukum yang dapat menyatakan isinya.
Lebih lanjut
dalam buku Pengantar Ilmu hukum ini,
Van Apeldoorn juga mengungkap
pandangan Ontwikkelde leek yang dianggap
buruk tentang hukum, sebab memberikan defenisi yang menyamaratakan, seperti
hukum adalah undang-undang juga hukum adalah aktivitas persidangan, dan juga
sebalinya undang-undang adalah hukum. Namun dalam pandagannya terletak anasir
kebenaran. Ia dapat mengajarkan kita sesuatu. Sehingga kita tidak melihat hukum
dalam undang-undang, akan tetapi di dalamnya terlihat sesuatu tentang hukum,
karena apa yang terlihat di dalam undang-undang, pada umumnya (tidak selamanya
hukum).
Tetapi ini tidak
berarti bahwa siapa yang mempelajari undang-undang kita dengan pasal-pasal yang
ribuan jumlahnya, juga akan mengetahui hukum. Siapa yang membaca undang-undang
kita pertama-tama akan takjub karena isinya tak berkesudahan ragamnya.
Menurut Van Apeldoorn, ada teori yang
mengajarkan, bahwa hukum semata-mata mengehendaki keadilan, yakni teori ethis,
yang mana menurut teori ethis itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh
kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Namun
kembali lagi, teori tersebut juga kadang berat sebelah dan dapat
melebih-lebihkan kadar keadilan hukum, karena ia tak cukup memperhatikan
keadaan sebenarnya. Cukup rumit memang.
Dalam hukum ada
sebuah asas “Summum ius, summa iniuria”
Yang artinya, “Keadilan yang tertinggi adalah ketidak adilan yang tertinggi”
Sehingga dalam hukum terdapat bentrokan yang tak dapat dihindarkan, pertikaian
yang selalu berulang antara tuntutan-tuntutan keadilan dan tuntutan-tuntutan
kepastian hukum. Makin banyak hukum memenuhi syarat “Peraturan yang tetap” yang
sebanyak mungkin meniadakan kepastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan
hukum itu, makin terdesaklah keadilan.
Tak heran jika
melihat maraknya perseteruan yang terjadi belakangan ini, terutama yang
bersentuhan dengan hukum dan pemerintahan beserta begitu banyaknya kepentingan
yang tak terukur, menjadikan kepastian hukum selalu bentrok dengan keadilan. Di
mana kepastian hukum dirasa kerap kali mencederai rasa keadilan rakyat,
terutama mereka yang tidak mememiliki cukup power untuk melawan kekuasaan. Hal
ini jelas sudah diramalkan oleh para ahli hukum ratusan tahun yang lalu.
De Groot
(Inleiding I, 2 23) dalam Buku Pengantar
Ilmu Hukum karangan Van Apeldoorn
misalnya, menguraikan bentrok dalam hukum secara tepat sebagai berikut:
undang-undang antar penduduk dibuat secara umum (yaitu memberi
peraturan-peraturan yang umum) walaupun alasannya tidak selalu tepat karena
beraneka warnanya urusan-ursan manusia sangat tidak tentu. Padahal
undang-undang harus menetapkan suatu yang tentu/pasti, sebagaimana asas Lex
dura, sed tamen scripla (undang-undang adalah keras, akan tetapi memang
demikian bunyinya).
Untuk yang satu
ini, Van Apeldoorn memberikan contoh
pada pasal 1374 B.W. (KUHPerdata) yang mana menetapkan bahwa tiap-tiap persetujuan
yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuatnya dengan kekuatan
seakan-akan undang-undang. Peraturan tersebut juga berlaku (kecuali dalam
beberapa hal), jika dalam hal tersebut salah satu pihak sangat dirugikan karena
ia berdasarkan undang-undang harus melakukan prestasi yang nilainya jauh
melebihi nilai prestasi pihak yang lain. Dalam hal ini perjanjian tersebut
bertentangan dengan keadilan commutatief.
Oleh karena itu berdasarkan apa yang disebut laesio enormis (kerugian
besar dari penjual), hukum dahulu menyuruh memilih baik sipenjual, yang menjual
barangnya dengan harga yang kurang dari setengah, maupun sipembeli yang
membayar dengan harga lebih dari lipat duanya –jadi walaupun juga tak ada
penipuan – antara tuntutan hukum agar perjanjian jual beli dibatalkan, atau
tuntutan hukum untuk membayar kerugian. Alat hukum tersebut tak dimasukkan
dalam B.W. : orang takut kalau-kalau kepastian hukum karenanya akan terdesak
berhubung dengan kesukaran-kesukaran yang besar yang mungkin timbul dalam
menetapkan nilai yang tepat dari suatu prestasi.
Jadi hukum
terpaksa harus mengorbankan keadilan sekedarnya guna kepentingan daya guna: ia
terpaksa mempunyai sifat kompromi. Bahkan terdapat sejumlah besar
peraturan-peraturan hukum yang sama sekali tidak mewujudkan keadilan, melainkan
semata-mata didasarkan pada kepentingan daya guna, misalnya mengenai bukti dan
daluwarsa dan peraturan-peraturan yang malahan melindungi “bezitter” hingga batas yang tertentu terhadap “eigenaar” untuk kepentingan perdamaian dalam masyarakat. Menurut Van Apeldoorn, Itu patut kita sesalkan,
akan tetapi tak dapat kita ubah, karena hukum adalah buatan manusia yang
demikian tak sempurna.
Pasal 1374 B.W.
yang dimaksud Van Aveldoorn dalam
bukunya Pengantar Ilmu Hukum di atas
nampaknya telah diubah, dan asas kebebesan berkontrak (beginsel der contracts vrijheid) yang diatur dalam KUHPerdata yang
berlaku saat ini terdapat dalam pasal 1338 dan seterusnya.
Buku Pengantar Ilmu Hukum milik L.J. Van Apeldoorn ini tentu saja tidak
hanya menyoal seputar pengertian hukum saja, tapi juga semua hal mendasar
tentang hukum. Berbicara hal-hal mendasar dalam hukum kita sudah sangat
familiar dengan tiga asas Tujuan hukum yang pertama kali dipopulerkan oleh
Gustav Radbruch seorang filosof hukum sekaligus legal scholar dari Jerman, yakni Asas Kepastian Hukum, Asas
Keadilan, dan Asas Kemanfaatan Hukum. Di mana sangat sukar untuk menyelaraskan
ketiganya secara bersamaan.
Sebagai jawaban
atas “Apa itu hukum?” Salah satunya, Van Apeldoorn mengutip dari sumber hukum Fries
dari abad menengah (von richt-hofen,
Friesische Rechtsquellen, h. 438) yakni: “Erlykera tinga reda, treftlykera
tingh bieda, urbieda dat unriucht, hinzia moetlykera ting, ende aec behvilen
oenmoetlikera tingh, truch fruchta des era.” Yakni: Memerintahkan apa
yang patut, menyuruh apa yang baik, melarang apa yang tidak adil, membolehkan
apa yang adil dan kadang-kadang juga apa yang tidak adil, karena takut akan
hal-hal yang lebih buruk. (Bandingkan
prediker 7 : 16 : “Janganlah terlalu adil”) – etc.
Oh iya, saya
hampir lupa menemukan sipemilik buku ini. Setelah saya mengingat-ingat kembali,
entah bagaimana buku ini sudah bersama saya setidaknya sejak empat tahun lalu,
lama juga yah, rasanya buku ini terlalu berharga untuk ditelantarkan, tidak
mudah menemukan buku klasik yang sudah hampir punah. Bisa jadi ini juga salah
satu koleksi berharga sipemiliknya.
Kala itu sedang
semangat-semangatnya teman-teman di Fakultas
Syariah Dan Hukum UIN Alauddin Makassar menghidupkan
budaya diskusi di luar jam kuliah, sehingga rasa-rasanya tidak keren kalau
mahasiswa FSH lantas tak tergabung dalam sebuah Study
Club, di sanalah saya menemukan buku ini.
Salah seorang
adik kelas memberikannya pada saya, setelah menceritakan ia menemukan buku ini
di suatu tempat dan sudah berusaha mencari pemiliknya tapi tidak ketemu, karena
penasaran ingin membaca buku yang cakep ini, jadilah saya mengiyakan untuk
membawa buku ini dengan risiko harus menemukan pemiliknya nanti.
Kalau salah satu
di antara kalian adalah pemilik buku ini, boleh menghubungi saya untuk
mengambilnya.
10 komentar
Hm, hukum itu membingungkan karena masih banyak peraturan di negara ini yang tumpang tindih. Ini pendapat saya yang awam, hehe. Tapi itulah bukti ya, kalau manusia yang membuat hukum ya seperti itu. Berbeda halnya kalau hukum Allah yang berlaku.
ReplyDeleteNice, Uga. Terima kasih sharing-nya. Semoga pemilik bukunya ketemu.
Iya kak, tapi beberapa peraturan undang-undang sudah mengandung ruh-ruh hukum islam kok hehehe UU No. 1 Thn 74 ttg perkawinan misalnya, dan masih banyak lagi. Hanya saja penerapan secara full yah nampaknya masih susah.
DeleteInformatif tulisannya kak uga.. Nice tapi untuk saya yg gak tau banyak tentang hukum taunya cuma hukum tentang press saja hehehe nice kak uga
ReplyDeleteAhahahha lebih enak belajar desain dan photography Aisyah 😂
DeleteInformatif tulisannya kak uga.. Nice tapi untuk saya yg gak tau banyak tentang hukum taunya cuma hukum tentang press saja hehehe nice kak uga
ReplyDeleteYeess Ais.. Terimakasih sudah mampir :)
DeleteDulu sy pernah memiliki buku serupa. Bukunya sangat bagus. Warisan dari senoir. Tp di semester 2 sy kehilangan buku itu. Sedih juga sihh... Mmmm... Buku boleh di gandakan tidak...?
ReplyDeleteDulu sy pernah punya buku serupa. Bukunya keren. Warisan dari senior. Tp di semester 2 sy kehilangan buku itu (bukan buku yg ada dalam ulasan). Nyari-nyari dalam 5 tahun trakhir gak dapat. Mmmmm... Mba.. Bukunya boleh di gandain tidak...?
ReplyDeleteOhya? Wah sayang sekali yah. Oiya boleh saja kak, sila dicopy. Bisa hubungi saya via email anugrah1reskiani@gmail.com
DeleteSaya punya ini kak, tapi saat selesai S1, buku ini kupinjamkan ke tetangga. Rasanya mau besok minta buku ini. Akan kusimpan di rak buku penghias dan jadi koleksi perpustakaan @rakitgowa. Makasih atas tulisan ini, jadi ingat lagi ttg buku langka terkeren dari Mas Apeldoorn ini.
ReplyDelete